Tulisan ini pertama kali terbit pada Kandha Vol. 1 No. 3 – April 2020
Share and Everyone Wins
Cervantes, Shakespeare dan El Inca meninggal pada waktu yang
sama, yakni 23 April 1616. Beberapa penulis pula lahir dan meninggal pada
tanggal manis ini. Ini adalah satu simbol untuk semesta literatur. UNESCO
menetapkan tanggal ini sebagai perayaan Hari Buku dan Hak Cipta Sedunia sejak
konferensi di Paris 1995. Ini merupakan salah satu upaya untuk memberi satu
bentuk penghargaan terhadap buku dan penulis. Semua orang di seluruh dunia
dicitakan untuk bisa mendapat derajat lebih dan kesenangan dari buku. Pun pada akhirnya
akan mampu untuk memajukan kehidupan sosial dan budaya.
Tahun ini, Direktur Jenderal UNESCO memberi isyarat bahwa buku-buku
merupakan sarana untuk menjelajahi dunia di luar pengalaman kita pribadi,
melalui ide dari penulis, alam semesta dan budaya, juga sebagai alat untuk kita
dapat menyentuh relung terdalam batin kita.
Namun demikian, simbol ini menandakan kelahiran dan kematian.
Yang mati digantikan oleh ketumbuhan baru, sementara beberapa cerita bersarang
pada keabadian, sisanya sirna sebagai sebuah kenyataan. Karena seperti kata
penyair Chairil Anwar, “lahir seorang besar dan tenggelam beratus ribu,” dan
“keduanya harus dicatet, keduanya dapat tempat.”
Dunia ini mungkin terkungkung dalam satu batas penghormatan yang
terlalu mahal. Ini melahirkan satu dominasi yang lantas melahirkan keasingan,
ketakterjamahan, dan kesepian hidup. Ketika batas-batas eksklusif tersebut
berperan dalam monopoli produksi dan distribusi nilai pengetahuan dan
kebudayaan, maka perkembangannya pun terhambat dan menimbulkan penentuan nilai
yang homogen; dari pola pikir hingga kecerdasan intelektual masyarakat. Beratus
ribu tenggelam.
Maka dari itu, cerita harus tetap digulirkan. Ini hanyalah
satu hari untuk berpesta, dan sisanya adalah kesenangan-kesenangan untuk
dilestarikan. Kita bisa terus menggulirkan cerita mulai dari kutipan satu
frasa, satu bait puisi, atau berlembar-lembar naskah. Di saat yang sama, kita dapat
memperlebar jalan menuju pengetahuan dengan usaha-usaha pemberian akses yang
setara dan dukungan terhadap suatu bentuk kreativitas.
Beranjak dari kata Chairil tadi, ini adalah waktu untuk kita
menghitung tempat, berlari menuju ketenggelaman itu, dan berdiri untuk
keragaman kreativitas. Satu hal yang tak boleh luput juga dari berbagi adalah
penghormatan pada setiap orang. Kesetaraan berarti semua harus menang, dan itu
merupakan kemenangan untuk para penulis dan masyarakat. Jika penulis harus menang
di hadapan masyarakat, maka ia harus hadir di hadapan mereka sehingga ia tak
lagi asing dan tak terjamah. Begitu pula masyarakat yang mau menerima
kehadirannya dengan penghormatan. Kedua belah pihak inilah yang mampu meruntuhkan
dominasi dan menghancurkan sekat-sekat dunia. Maka dengan ini, kita tidak lagi
menjumpai orang asing, tidak lagi ada eksistensi yang tak terjamah, tidak lagi
ada kesepian, dan semua bisa menang.
Mengobral Hak Cipta, Meruntuhkan Menara Gading
Saya masih menjumpai buku yang ditulis oleh orang yang telah
lama meninggal yang diterbitkan ulang dan dijual dengan harga. Bahkan dalam
beberapa kasus, buku-buku tersebut dijual seharga lebih mahal daripada
buku-buku yang ditulis oleh penulis yang masih hidup. Tidak hanya penulis,
beberapa karya seni pun demikian, seperti lukisan, patung, hingga musik. Saya beranggapan bahwa penulis harus mati
terlebih dahulu, ditemukan, dan karyanya menjadi mahal. Namun anggapan itu tetap
berbatas. Ada banyak kasus bahwa pencipta yang bisa kaya saat ia masih hidup.
Dan satu hal yang mengamini hal tersebut adalah pola produksi dan distribusi
ciptaan di era kontemporer melalui komersialisasi hak cipta.
Dalam proses ini, pencipta: penulis, pelukis, dsb, bukanlah
satu-satunya tokoh yang memainkan
peran produksi dan distribusi. Di balik mereka, ada konglomerat kebudayaan yang
memainkan peran sebagai pihak yang memiliki modal. Dengan modal tersebut,
mereka memiliki daya untuk melakukan penentuan dan kurasi atas apa yang akan
diproduksi dan dijual. Perhitungan ini tentu berdasar pada kepentingan ekonomi.
Sehingga dalam praktiknya, akan ada wacana yang dibangun untuk mendukung pengorbitan
pencipta yang menyasar pengetahuan pribadi masyarakat.
Kerja tersebut merupakan konvergensi dari beberapa komodifikasi
yang meliputi barang ciptaan itu sendiri, ketenaran, citra, dan identitas.
Sebagai gambaran yang paling mudah untuk dapat memahami ini adalah kerja yang
dilakukan oleh acara-acara pencarian bakat atau lomba proposal dengan sponsor.
Dalam praktiknya, proses kurasi ini sendiri sudah dikomersialisasi, dan dengan
prosesnya, kerja ini menggiring sebuat cita untuk pencapaian ketenaran, citra,
dan identitas—semuanya bermuara pada kepentingan ekonomi.
Ketika wacana idola tersebut telah terbangun, pengetahuan pribadi
masyarakat terbangun. Ini merupakan salah satu kerja yang bergerak dalam ranah
komunal. Sehingga proses kurasi yang dilakukan oleh penentu produksi, ketika
kepentingan jangkauan pasar menjadi tujuannya, adalah pemenuhan kebutuhan pasar
komunal yang populer. Ketika buku yang ditulis oleh orang yang telah meninggal
masih terus diproduksi, ini merupakan proses pewacanaan sosok ‘idola’ yang
terus disuburkan, meski tujuannya tak terbatas pada kepentingan ekonomi.
Beberapa orang butuh untuk mengidolakan ide dan di sanalah letak
kepentingannya. Di sisi lain, masalah ‘idola’ ini masih berlangsung pada orang-orang
yang masih hidup.
Kerja ini merupakan satu kerja yang memainkan peran individu
(kelompok terbatas) untuk berkompetisi dalam meraih tempat. Karena
bagaimanapun, secara massal, tidak semua orang dapat menjadi idola. Konglomerat
tersebut sebelumnyalah yang kemudian membentuk batas eksklusif ini.
Hak Cipta hadir sebagai alat untuk melindungi batas-batas
ini. Dalam undang-undang, Hak Cipta didefinisikan sebagai hak eksklusif
pencipta yang timbul secara otomatis berdasarkan prinsip deklaratif setelah
suatu ciptaan diwujudkan dalam bentuk nyata tanpa mengurangi pembatasan sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Dalam cangkupannya, ia melindungi
hak moral juga hak ekonomi. Dalam esainya di New York Times, Smiers dan van
Schijndel beranggapan bahwa hak cipta merupakan alat yang digunakan konglomerat
dalam industri musik, penerbitan, pencitraan dan film untuk mengendalikan pasar
mereka.
Kerja yang dilakukan mereka berdampak pada privatisasi pada ekspresi
budaya kita. Kita dipaksa mengonsumsi kreasi budaya dengan cara yang persis
sama seperti yang disajikan kepada kita, dan kita tidak boleh mengubah judul
atau detailnya. Masalah yang timbul ketika kita mendamba masyarakat dengan
ekspresi yang pluralistik adalah mereka dengan produk idola mereka memonopoli
pasar dan menarik perhatian dari setiap karya artistik lain yang diproduksi
oleh seniman.
Hak kekayaan intelektual pribadi, dalam pandangan sejarah, sebenarnya
tidak banyak ditemukan pada proses perkembangan budaya dunia. Dan pada saat
yang sama, orang-orang juga tetap mampu dan mau untuk berkarya. Yang menjadi
masalah adalah, menyesuaikan dengan perkembangan zaman dan kebutuhan masyarakat,
sejauh mana hak cipta model ini dapat menjamin kehidupan pencipta secara khusus
dan masyarakat budaya pada umumnya.
Fokus pembahasan ini adalah kemenangan yang setara baik untuk
pencipta dan publik. Maka pendekatannya adalah upaya-upaya
yang bisa dilakukan secara adil oleh kedua belah pihak. Smiers dan van
Schijndel beranggapan bahwa ide ini efektif dalam kerja yang sporadis, dan
memberi contoh gambaran yang ada melalui General Public License dan Creative
Commons. Gagasan di balik pendekatan ini adalah bahwa karya si pencipta harus
tersedia untuk digunakan oleh orang lain, tanpa dihalang-halangi
oleh hak cipta yang berlaku. Setelahnya orang lain dapat menggunakan karya
tersebut dengan layak. Ada beberapa alternatif bentuk lisensi yang didesain
oleh kerangka kerja ini, seperti lisensi Public Domain yang membebaskan karya
menjadi milik publik hingga yang lebih terbatas. Pelajari selengkapnya di creativecommons.org.
Alternatif kedua yang disampaikan oleh Smiers dan van
Schijndel adalah untuk menakar proyek penciptaan karya kolektif. Dalam masyarakat
kolektif, konsep Hak Cipta yang erat kaitannya dengan individualisme (kelompok
terbatas) tidak cocok dengan semangat hidup mereka. Juga sebaliknya, jika
seseorang hidup dalam paradigma kepemilikan pribadi atas pengetahuan dan kreativitas,
jelaslah konsep seperti kepemilikan kolektif tidak cocok dengan mereka.
Masyarakat kolektif ini masih dapat merasakan “Hak Cipta” namun dimiliki secara
kolektif dan ini tetap memungkinkan untuk mereka dalam melindungi ekspresi artistik
mereka dari penggunaan yang tidak layak dan/atau menjamin penghasilan seniman
mereka.
Di sisi lain, kebangkitan produksi karya independen yang mampu
terlepas dari cengkeraman penentuan konglomerat kebudayaan patut diapresiasi.
Namun pada saat yang sama, usaha ini akan dapat bekerja secara berkelanjutan
dengan patronasi beberapa pihak. Karena langkah ini telah memotong hubungan
antara produsen independen, yakni pencipta, dan perusahaan besar maka ini
berdampak bahwa satu-satunya pihak yang bertanggung jawab atas proyek
pengkaryaan ini adalah pencipta itu sendiri. Ketika kerja patronasi oleh publik
dapat dapat langsung menjangkau pencipta, di sanalah kedua belah pihak menang.
Pertemuan antara kepentingan-kepentingan ini ada di sebuah pasar bebas yang
tidak bersifat kapitalistik, karena pada akhirnya kedua belah pihak dapat
secara terbuka mendeklarasikan apa saja secara mandiri dan langsung.
Jika usaha ini diarahkan untuk pemenuhan akses publik
terhadap keragaman ide artistik, maka masyarakat yang lebih demokratis mungkin
dapat tercipta. Karena dengan ini, kita bisa sama-sama melihat spektrum
kebudayaan masyarakat kita dan melihat bahwa semuanya bisa menyimpang dan
berisik, dan orang-orang bisa sama-sama merayakan
itu. Ketika semua orang dapat merasakan kemewahan di tempat-tempatnya, maka
ketenaran, citra, dan identitas tidak lebih politis dari sebelumnya.
Comments
Post a Comment